Resensi Buku Tikuse Pada Ngidung, Meluruskan Kembali Arti Budaya
Judul Buku |
: |
Tikuse Pada Ngidung : Esai-esai Kebudayaan |
Penulis |
: |
Mohamad Sobary |
Jumlah Halaman |
: |
viii + 282 halaman |
Penerbit |
: |
Kepustakaan Populer Gramedia |
Cetakan |
: |
I, Februari 2018 |
ISBN |
: |
978-602-424-740-9 |
Melalui buku Tikuse Pada Ngidung, Mohamad Sobary atau biasa disapa Kang Sobary meluruskan kembali arti kebudayaan yang telah dirampingkan dalam pola pikir masyarakat dan pemerintah. Selama ini, kebudayaan seringkali hanya dilekatkan pada kesenian, padahal kesenian hanya salah satu bagian dari produk kebudayaan.
Persoalannya, kita terlalu menyepelekan makna kebudayaan. Ini menyangkut cara pandang, pemaknaan, dan kapasitas kita menelusur ke persoalan-persoalan lebih mendalam dan lebih kompleks mengenai kebudayaan. Kita kembali ke persoalan semula, ketika kebudayaan, perkara yang sangat kompleks, serius, dan mendalam hanya dimaknai sebagai hal sepele. Kebudayaan, dibikin identik dengan seni dan pengertian seni disamakan dengan tari.
Pemahaman seperti ini sudah lumrah. Orang mengganggap hal itu tidak ada cacat celanya. Pejabat negara, orang yang pernah menempuh pendidikan tinggi pun, memahami makna kebudayaan sebagai persamaan kata tari. Dalam kasus ini, pejabat atau bukan tidak ada bedanya. Pegawai-pegawainya apalagi, mereka tak mungkin memiliki pendapat dan cara pandang lain dari atasan mereka (hal 278-280).
Padahal kebudayaan hadir dalam seluruh sendi kehidupan seperti di panggung politik, ekonomi, agama, etika, sosial, hukum, media massa, dan lain-lain. Di mana manusia tidak dapat memisahkan diri dengan kebudayaan, hal ini terkait dengan kedudukan manusia sebagai produsen kebudayaan.
Kang Sobary menguliti kebobrokan dunia politik yang mungkin kini telah mapan menjadi kebudayaan bangsa. Hal ini patut untuk disoroti dalam pesta demokrasi, yang melibatkan rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung, mulai dari pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), sampai pemilihan kepala daerah (pilkada) yang penuh dengan hiruk pikuk dari awal sampai selesainya pesta demokrasi.
Politik tidak dengan sendirinya menjadi kotor. Ia hanya kotor ditangan orang-orang yang otaknya penuh kekotoran. Ketika kekuasaan dilaksanakan demi kekuasaan itu sendiri -dan diisi sesuka hati para penguasa- maka kekuasaan akan dengan sendirinya melahirkan politik kotor, jahat, dan penuh kekejaman.
Di dunia politik, orang yang tak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa ditampung, diakomodasi, dan dijadikan wakil rakyat. Apa pendidikannya? Pernah sekolah di tingkat apa? Apakah memiliki wawasan dan ideologi politik yang jelas, fokus, dan bisa diwujudkan sebagai perjuangan politik untuk bangsa? Penyanyi dangdut, pemain sinetron, pelawak, broker politik, makelar kasus, semuanya bisa ditampung di suatu partai politik. Mereka bahkan dijadikan wakil rakyat. Yang bisa berbuat seperti itu bukan hanya partai sembarangan partai. Partai yang berideologi agama pun ikut mencari kader dengan cara murahan seperti itu. Makna agama, ideologi agama, dan perjuangan agama pun bisa dilupakan (hal 11 dan 49).
Doktor dari Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) ini pun, menyoroti maraknya pengkotak-kotakan dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Rakyat di negara ini seperti telah kehilangan kebudayaan leluhur, yang selama ini menjadi pegangan hidup dan termasyhur sampai negara lain. Sikap toleransi antarumat beragama, ramah tamah, gotong royong, saling mengasihi, dan lain-lain yang bernilai positif. Hanya karena suatu berita yang tak jelas asalnya dan kepentingan segolongan orang, memicu keretakan di antara masyarakat yang menimbulkan keresahan dan pertikaian tanpa akhir.
Indonesiaku adalah sekeping negeri yang diciptakan Tuhan dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih sayang dan tanggung jawab-Nya, kita diciptakan dalam corak yang berbeda warna kulit, etnis, tradisi dan bahasanya, serta cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap hidup. Tuhan juga memelihara semua jenis perbedaan itu. Lalu apa hak kita -yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan orang suci- untuk bersikap seolah kita nabi, wali, atau orang suci hingga perbedaan di mata kita menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak bersikap seolah kita Tuhan? (hal 90-91).
Tak seluruhnya, kebudayaan asal itu luruh dengan berubahnya kondisi hidup manusia. Adapula budaya yang mengalami pencampuran dengan kondisi kehidupan sekarang. Salah satu contohnya yang terjadi pada kaum urban, di mana setiap kali memasuki bulan Ramadhan, selalu ada bayangan dalam benak masyarakat urban untuk pulang ke tempat asal, merayakan lebaran dengan tradisi yang mereka lakukan saat berada di sana. Kebiasaan ini dapat dikatakan kebudayaan baru yang mapan, pasalnya setiap tahun dilakukan dan ada keresahan jika melewatkannya.
Mudik lebaran yang kita jadikan tradisi ini tak ada hubungannya dengan tradisi agama, bukan perintah suci dari langit, dan tentu bukan agama. Mudik lebaran merupakan ritus modern yang sudah menjadi tradisi orang kota yang belum selesai secara tuntas menjadikan dirinya sebagai orang kota. Mungkin, mudik lebaran adalah fenomena tingkah laku manusia setengah modern setengah tradisional, setengah orang kota setengah orang desa. Ringkasnya, mudik ya mudik (hal 236).
Di dalam buku yang terdiri dari empat bagian dan berisi kumpulan esai ini, penulis membeberkannya dengan bahasa yang puitis dan percakapan mirip dengan cerpen. Meskipun begitu pembaca sesekali tertawa mendapakan gaya tulisan yang jenaka, walaupun materi esai yang dibahas termasuk berat dan berakhir dengan perenungan.
Buku ini memiliki keunikan tersendiri, yakni tidak dilengkapi dengan kata pengantar. Sehingga pembaca tidak diberikan pemahaman umum maksud dari penulisan buku, mungkin juga hal ini sengaja dipilih supaya pembaca bebas untuk mengartikan tujuan dari buku ini. Selamat membaca dan bertualangan memaknai kebudayaan di Tanah Air.