Selama Tiga Tahun, Satgas Anti Rentenir Kota Bandung Terima 7.321 Aduan Korban Rentenir

Selama Tiga Tahun, Satgas Anti Rentenir Kota Bandung Terima 7.321 Aduan Korban Rentenir
Selama Tiga Tahun, Satgas Anti Rentenir Kota Bandung Terima 7.321 Aduan Korban Rentenir (Dok : Humas Pemkot Bandung)

 

 

 

BANDUNG (Golali) – Sebanyak 7.321 aduan korban rentenir masuk ke Satuan Tugas (Satgas) Anti Rentenir Kota Bandung, sejak 2018 sampai Oktober 2021.

 

Sekitar 4.000 korban yang meminjam melalui pinjaman online (pinjol), sisanya berkedok koperasi ilegal dan perorangan.   

 

Para korban yang mengadu tersebut meminjam uang kepada rentenir : 

1. 49 persen untuk usaha

2. 33 persen untuk biaya hidup sehari-hari 

3. 6 persen untuk dana pendidikan 

4. 3 persen untuk berobat 

5. 2 persen untuk kebutuhan konsumtif

 

Hal ini dijelaskan Ketua Umum Satgas Anti Rentenir Kota Bandung, Atet Dedi Handiman dalam Program Bandung Menjawab, di Auditorium Rosada Balai Kota Bandung. Jalan Wastu Kencana, Kamis 14 Oktober 2021. 

Baca juga : 

 

 

 

 

 

 

 “Kebanyakan ternyata koperasi-koperasi yang berpraktek sebagai rentenir itu bukan koperasi Kota Bandung. Jadi kita untuk melakukan tindakan yuridis sesuai dengan perkoperasian yang menjadi kewenangan dinas itu agak sulit,” ungkap Atet Dedi Handiman. 

 

Sementara untuk pinjol, kata Atet Dedi Handiman temuannya sudah cenderung melakukan pemerasan. Dari pinjaman awal yang kecil dengan bunga senilai 10 – 30 persen. 

 

Cara mengatasi masalah korban rentenir    

 

Untuk masalah korban rentenir untuk dana pendidikan dan kesehatan, pihaknya berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kota Bandung . 

 

 

“Karena itu, dalam Keputusan Wali Kota Bandung, Satgas melibatkan OPD (organisasi perangkat daerah) untuk tindak lanjut. Misalnya di pendidikan itu ada akses pendidikan gratis oleh Dinas Pendidikan. Warga yang berobat ke Dinas Kesehatan,” sambung Atet Dedi Handiman. 

Baca juga : 

 

 

Sementara untuk pinjaman online dibantu melakukan cut off  antara peminjam dengan pemberi pinjaman. 

 

“Ada yang kita selesaikan cut off, misal utang si A Rp2 juta, karena bunganya sudah dianggap wajar sekian persen. Dan si peminjam sudah sepakat itu di cut off bahwa utang dia sudah tidak bisa lebih. Mereka menandatangani dan melakukan kesepakatan,” beber Atet Dedi Handiman. 

“Tetapi bukan berarti kita membayarkan utang mereka. Apabila sudah terlanjur meminjam, kita edukasi, fasilitasi bagaimana si korbang bertemu dengan renternirnya sendiri. Apakah berbentuk koperasi atau bukan?,” urai Atet Dede Handiman. (*/Golali)